Jumat, 18 Juli 2008

K3@mpuHan N45eH@t


Bagi sebagian guru atau Ustadz, kadang mereka merasakan kesulitan dalam menasihati murid-muridnya yang membandel. Dan tidak sedikit pula para orang tua sekarang juga merasakan begitu sulitnya menasihati anak. Bahkan kita sering menjumpai sang anak justru sering membantah nasihat orang tuanya. Entah siapakah yang perlu disalahkan dalam proses tarbiyah yang ‘gagal' seperti ini. Apakah mereka (para guru, ustadz atau orang tua) yang gagal memahami retorika menasihati anak? Ataukah anak-anak sekarang memang sulit menerima nasihat, karena saking parahnya kerusakan pergaulan masa kini?.

Sementara itu, kita kadang merasa tersentuh hati tatkala mendengarkan nasihat-nasihat berharga dari seorang ustadz atau orang yang kita hormati lainnya. Namun di saat yang lain, hati kita seolah-olah tidak bisa tersentuh dengan nasihat. Kata-kata yang meluncur dari lisan guru, ustadz, orang tua, atau mungkin teman dekat kita terasa hambar di telinga. Pepatah mengatakan "ibarat masuk telinga kanan keluar dari telinga kiri" artinya nasihat itu berlalu begitu saja tanpa sempat mengendap di hati. Kenapa hal ini bisa terjadi? Apakah hati kita sudah kadung keras, hingga sulit menerima nasihat? Ataukah orang yang memberi nasihat, kurang pintar mengolah kata?

Memang hati yang keras itu biasanya sulit menerima nasihat dan ilmu. Tapi sebuah nasihat itu akan lebih mudah diterima, manakala sang pemberi nasihat memiliki power of spiritual atau kekuatan spiritual berupa kejujuran dalam memberikan nasihat. Kejujuran nasihat yang dimaksudkan dalam pembahasan ini adalah kesesuaian antara yang di ucapkan dengan yang diamalkan.Dan kita semua sepakat bahwa nasihat itu akan lebih mengena dan menyentuh hati, kalau betul-betul bersumber dari hati yang ikhlas.

Ada kisah menarik yang bisa kita ambil hikmahnya berkaitan dengan permasalahan ini. Diceritakan bahwa Hasan Al-Basri duduk dalam majelisnya, dan biasanya setiap hari ia sering mengadakan majelis ditempat itu juga. Adapun Habib Al-Ajami duduk dalam majelisnya yang biasanya majelis itu sering didatangi oleh ahli dunia dan perdagangan. Ia lalai dengan menjelis ilmu yang diadakan oleh Hasan Al-Basri, dan ia tidak menoleh sedikitpun dengan apa yang disampaikan oleh Hasan Al-Basri. Hingga suatu hari ia ingin mengetahui apa yang disampaikan Hasan Al-Basri, maka dalam hati ia berkata: "Dalam majelis Hasan Al-Basri diceritakan tentang surga, neraka dan manusia diberi semangat untuk mendapatkan akhirat, dan ditanamkan sikap zuhud terhadap dunia (memfokuskan segala karunia Allah untuk akhirat)". Maka perkataan ini menancap dalam hatinya, lalu ia pun berkata: "Mari kita mendatangi majelis Al-Hasan Al-Basri!" Orang-orang yang duduk dalam majelis ilmu berkata kepada Hasan Al-Basri: "Wahai Abu Said ini adalah Habih Al-Ajami menghadap kepadamu, nasehatilah ia."

Lalu Habib Al-Ajami menghadap Hasan Al-Basri, dan Hasan Al-Basri pun menghadap kepadanya kemudian menasehati Habib Al-Ajami, ia ingatkan dengan Jannah, ia takut-takuti dengan neraka, ia hasung untuk melakukan kebaikan, ia ingatkan untuk berlaku zuhud di dunia.
Maka Habib Al-Ajami pun terpengaruh dengan nasehat itu, dan langsung bersedekah 40 ribu dinar. Ia pun berlaku qona'ah (menerima) dengan hal sedikit, dan ia terus beribadah kepada Allah hingga meninggal dunia. [Hilyatul Aulia 6/149 dengan sedikit perubahan, dan lihat Siyar ‘Alamun Nubala 6/144]

Dari sepenggal kisah di atas, kita melihat kejujuran Hasan Al-Basri (semoga Allah merahmati beliau) dalam dakwahnya, selamatnya tujuan dakwahnya, hingga nasihatnya membekas dalam hati Habib Al-Ajami. Nasihat yang jujur itu telah memindahkannya dari riuh suara di pasar dan perdagangan, hingga menjadi sorang ahli ibadah dan ahli zuhud yang mempunyai do'a yang mustajab (doa yang dikabulkan) dan karamah yang mulia. Ia seorang ahli bersedekah dan berinfak di jalan Allah Ta'ala.

Alangkah indahnya perkataan Malik bin Dinar mengenai hal ini: "Kejujuran itu nampak dalam hati yang lemah, lalu pemilik hati itupun mencarinya, dan Allah menambahnya hingga menjadikannya berbarakah pada dirinya, dan menjadilah perkataan/nasihatnya itu obat bagi orang-orang yang bersalah". Lalu Malik berkata: "Hasan Al-Basri, Said bin Jubair dan semisal mereka itu, adalah mereka yang Allah hidupkan perkataannya kepada sekelompok manusia" [Hilyatul Aulia 2/359]

Begitu pula tatkala Zainal Abidin Ali bin Al-Husain mendengar nasehat Hasan Al-Basri, maka ia pun berkata: "Maha suci Allah ini adalah perkataan orang yang jujur" [Akhbarul Hasan Al-Basri Li Ibnul Jauzi hal. 2]

Salah seorang ulama ditanya: "Mengapa perkataan Salafus Shalih lebih bermanfaat dari perkataan kita?" Maka ia pun menjawab : "Karena mereka berbicara untuk kemuliaan Islam, untuk keselamatan jiwa, untuk mencari ridho Allah Yang Maha Pemurah, sedangkan kita berbicara untuk kemuliaan diri, mencari dunia dan mencari keridhaan mahluk" [Sifatu Sofwah karya Ibnul Jauzi 4/122]

Dan diantara sebab-sebab seseorang mendapatkan manfaat dari nasehat-nasehat Hasan Al-Basri dan dari majelis-majelisnya, bahwasanya Al-Hasan Al-Basri (semoga Allah merahmati beliau) adalah panutan yang baik, dan tidaklah termasuk orang-orang yang mengatakan apa yang tidak ia kerjakan.

Dikatakan kepada salah seorang dari teman Hasan Al-Basri: "Apakah sesuatu yang menyebabkan Hasan Al-Basri mencapai kedudukannya seperti ini? Padahal di antara kalian terdapat para ulama dan ahli-ahli fikih? Teman Hasan Al-Basri itupun berkata: "Adalah Al-Hasan Al-Basri jika memerintahkan suatu perkara maka ia adalah seorang manusia yang paling mengamalkan terhadap apa yang ia perintahkan, dan jika ia melarang dengan suatu kemungkaran maka ia adalah seorang manusia yang paling jauh meninggalkan larangan itu" [Tablis Iblis karya Ibnul Jauzi hal. 68].

Begitulah Hasan Al Basri dengan kejujurannya dalam memberikan nasihat. Nasihat yang jujur akan mampu menyentuh dan menggerakkan hati setiap pendengarnya. Dan Allah SWT mengingatkan orang yang tidak jujur dalam nasihatnya dengan firman-Nya, "Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)-mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?" (QS. Al Baqarah/2 : 44).


Read More..

Selasa, 08 Juli 2008

CArA mEMar4Hi aNaK


Sebagaimana senyuman yang damai, kadang kita harus memarahi anak. Ini bukan berarti kita meninggalkan kelembutan, sebab memarahi dan sikap lemah-lembut bukanlah dua hal yang bertentangan. Lemah-lembut merupakan kualitas sikap, sebagai sifat dari apa yang kita lakukan. Sedangkan memarahi -bukan marah-merupakan tindakan. Orang bisa saja bersikap kasar, meskipun dia sedang bermesraan dengan istrinya.

Persoalan kemudian, kita acapkali tidak bisa meredakan emosi pada saat menghadapi perilaku anak yang menjengkelkan. Kita menegur anak bukan karena ingin meluruskan kesalahan, tetapi karena ingin meluapkan amarah dan kejengkelan. Tidak mudah memang, tetapi kita perlu terus-menerus belajar meredakan emosi saat menghadapi anak, utamanya saat menghadapi perilaku mereka yang membuat kita ingin berteriak dan membelalak. Jika tidak, teguran kita akan tidak efektif. Bahkan, bukan tidak mungkin mereka justru semakin menunjukkan "kenakalannya".

Sekali lagi, betapa pun sulit dan masih sering gagal, kita perlu berusaha untuk menenangkan emosi saat menghadapi anak sebelum kita menegur mereka, sebelum kita memarahi mereka.

Selebihnya, ada beberapa catatan yang bisa kita perhatikan: Ajarkan Kepada Mereka Konsekuensi, Bukan Ancaman

Anak-anak belajar dari kita. Mereka suka mengancam karena kita sering menghadapi mereka dengan gaya mengancam. Mereka melihat bahwa dengan cara mengancam, apa yang diinginkannya dapat tercapai. Dari kita, mereka juga belajar meluapkan kemarahannya untuk menunjukkan "keakuannya".

Saya tidak memungkiri, banyak pengaruh luar yang bisa mengubah perilaku anak. Teman-teman sebaya, khususnya yang sangat akrab dengan anak, bisa mempengaruhi anak. Ia meniru temannya dari cara bicara, bertindak, mengekspresikan kemarahan, sampai dengan kata-kata yang diucapkan. Kadang anak memahami apa yang dikatakan, tetapi terkadang anak tidak tahu apa maksudnya. Ia hanya menirukan apa yang didengar.

Perbincangan kita kali ini bukanlah tentang peniruan. Karena itu marilah kita kembali berbincang bersama bagaimana ancaman kepada anak, acapkali tidak menghasilkan perubahan yang baik. Ancaman tidak banyak bermanfaat untuk menghentikan kenakalan anak atau perilaku yang membuat kita sewot. Sebaliknya, ancaman justru membuat anak belajar berontak dan menentang. Salah satu sebabnya, anak merasa orangtua tidak menyayangi ketika kita meneriakkan ancaman di telinga mereka. Selain itu, kita sering lupa menunjukkan apa yang seharusnya dikerjakan anak manakala kita asyik melontarkan ancaman.

Lalu apa yang perlu kita lakukan? Pertama, Adalah buruk memarahi tanpa memberikan penjelasan. Sekali waktu kita perlu duduk bersama dalam suasana yang mesra dengan anak untuk berbicara tentang aturan-aturan.

Kedua, kita bisa membuat komitmen bersama dengan anak untuk mematuhi aturan. Misalnya, mintalah kepada anak agar tenang ketika ada tamu. Kalau ada yang perlu disampaikan, atau anak menginginkan sesuatu, hendaknya menyampaikan kepada orangtua dengan baik-baik dan bersabar bila belum bisa memenuhinya.

Bersama dengan komitmen ini kita bisa membicarakan dengan anak konsekuensi apa yang bisa diterima bila anak mengamuk di saat ada tamu. Sekali lagi, konsekuensi ini disampaikan dengan nada yang akrab. Bukan ancaman. Bila anak melakukan hal-hal negatif yang sangat mengganggu, orangtua bisa mengingatkan kembali kepada anak dan lagi-lagi tidak dengan nada mengancam.

Di sinilah letak beratnya. Kita acapkali mudah kehilangan kendali. Kita mudah membelalak saat marah, tetapi lupa untuk konsisten.

"Ibu / Bapak Sudah Bilang Berkali-kali."

Perilaku yang menjengkelkan memang lebih mudah diingat, lebih membekas dan cenderung menggerakkan kita untuk segera bertindak. Sebaliknya perilaku positif cenderung kurang bisa mendorong kita untuk memberi komentar, kecuali jika perilaku tersebut benar-benar sangat mengesankan. Konsumen yang kecewa pada suatu produk, akan segera menggerutu ke sana kemari, meski kekecewaan itu sebenarnya tidak seberapa. Tetapi konsumen yang puas cenderung akan diam saja, kecuali jika kepuasan itu sangat menakjubkan. Orangtua dan anak juga demikian. Orangtua mudah ingat perilaku negatif anak, sementara anak mungkin tidak bisa melupakan tindakan orangtua yang menyakitkan hatinya.

Salah satu kebiasaan umum orangtua yang menyakitkan hati anak sehingga bisa melemahkan citra dirinya adalah ungkapan, "Ibu / Bapak sudah berkali-kali bilang, tapi kamu tidak mau mendengarkan."

Ungkapan ini memang efektif untuk membuat anak diam menunduk. Tetapi ia diam karena harga dirinya jatuh, bukan karena menyadari kesalahan. Jika ini sering terjadi, anak akan memiliki citra diri yang buruk. Dampak selanjutnya, konsep diri dan harga diri (self esteem) anak akan lemah. Anak melihat belajar memandang dirinya secara negatif, sehingga lupa dengan berbagai kebaikan dan keunggulan yang ia miliki. Sebaliknya orangtua juga demikian, semakin sering berkata seperti itu kepada anak, kita akan semakin mudah bereaksi secara impulsif. Kita semakin percaya pada anggapan sendiri bahwa anak-anak kita memang bandel, menjengkelkan dan susah dinasehati.

Tidak mudah memang, tetapi kebiasaan memarahi anak dengan ungkapan "Bapak kan sudah bilang berkali-kali" atau yang sejenis dengan itu, harus kita kikis secara sadar dari sekarang. Kita perlu menguatkan tekad untuk berkata yang lebih positif, betapa pun hampir setiap komentar kita masih buruk.

Jangan Cela Dirinya, Cukup Perilakunya Saja

Suatu saat, kira-kira jam setengah dua dini hari seorang anak saya bangun dari tidurnya. Ia kemudian beranjak dan mengajak adiknya yang masih bayi bercanda, padahal adiknya baru saja tertidur. Sebagaimana ibunya, saya juga sempat emosi. Hampir-hampir saya tidak dapat mengendalikan emosi, tetapi saya segera tersadar bahwa yang dilakukan oleh anak saya merupakan cerminan dari dari rasa sayangnya kepada adik. Nah, apa yang terjadi jika saya mencela anak saya? Apalagi kalau saya memelototi dan menghardiknya keras-keras, iktikad baik itu bisa berubah menjadi kemarahan sehingga anak justru mengembangkan permusuhan kepada adiknya. Ia bisa belajar membenci adiknya.

Apa yang saya ceritakan hanyalah sekedar contoh. Tidak jarang anak menampakkan perilaku "negatif", padahal ia tidak bermaksud demikian. Suatu ketika, pulang dari play-group anak saya berkata, "Bapak kurang ajar." Setelah saya tanya maksudnya, ternyata dia tidak mengerti makna kurang ajar. Ia mengatakan, "Kurang ajar itu ya main-main, sembunyi-sembunyian."

Kita sangat mudah keliru menangkap maksud anak. Kita gampang terjebak dengan apa yang kita lihat. Karenanya kita perlu belajar untuk lebih terkendali dalam menilai anak. Jangan sampai terjadi anak punya maksud baik, tetapi justru kita cela dirinya sehingga justru mematikan inisiatif-insiatif positifnya. Bahkan andaikan ia memang melakukan tindakan yang negatif, dan ia tahu tindakannya kurang baik, yang kita perlukan adalah menunjukkan bahwa ia seharusnya bertindak positif. Kita luruskan perilakunya. Bukan mencela dirinya. Sibuk mencela anak membuat kita lupa untuk bertanya, "Kenapa anak saya berbuat demikian?" Di samping itu, celaan pada diri -dan bukan pada tindakan-bisa melemahkan citra diri, harga diri dan percaya diri anak. Pada gilirannya, anak memiliki motivasi yang rapuh.

Sebagian kita merasa tidak merasa mencela anak, padahal ucapan kita menyudutkan anak. Misalnya, "Kamu kenapa tidak mau mendengar nasehat bapak? Heh? Kamu selalu saja ngeyel."

Pada ucapan ini, fokus kemarahan kita adalah anak sebagaimana kita tunjukkan dengan kata kamu. Bukan tindakannya yang salah.

Jangan Katakan "Jangan"

Barangkali tidak ada kata yang lebih sering diucapkan oleh orangtua pada anak melebihi kata "jangan". Kita menggunakan kata jangan begitu melihat anak melakukan tindakan yang kurang kita sukai. Kita juga menggunakan kata jangan, bahkan di saat kita mengharap anak melakukan yang lain. Padahal kata jangan tidak membuat mudah mengerti apa yang seharusnya dilakukan. Akibatnya, anak sulit memenuhi harapan orangtua, sementara orangtua bisa semakin jengkel karena merasa nasehatnya tidak didengar anak. Orangtua merasa anaknya suka ngeyel (kepala batu, orang Bugis bilang).

Lalu, apakah kita tidak boleh memberi larangan? Saya tidak dapat membayangkan betapa hancurnya sebuah dunia tanpa ada larangan sama sekali. Begitu pun keluarga. jangan katakan jangan pada saat ia sedang melakukan kesalahan. Tunjukkanlah apa yang seharusnya dilakukan. Atau bersabarlah sampai ia menyelesaikan maksudnya, Kalau kita tidak mau anak bermain pasir di teras, katakanlah, "Nak, main pasirnya di teras saja, ya?" Singkat, padat, jelas dan positif. Bukan, "Ayo, jangan main pasir di teras. Saya pukul kamu nanti."

Kapan sebaiknya kita sampaikan larangan? Saat terbaik adalah ketika anak sedang akrab dengan orangtua. Dalam suasana netral, larangan yang kita berikan pada anak akan lebih efektif. Anak lebih mudah memahami. Mereka bisa menerimanya sebagai aturan. Bukan menganggapnya sebagai serangan kepada dirinya.


Read More..

KareNa w4nita IngIn DimeNgErtI


Pernah-pernik kisah kehidupan berumah tangga kadang membuat saya sedih, tapi banyak juga yang membuat saja tersenyum ketika membaca atau mendengarnya. Seperti Ibu saya. Pernah suatu ketika ayah saya sedikit marah kepada Ibu saya. Ibu saya tak mau berkomentar atau membalas dengan kemarahan serupa. Hanya saja, langsung masuk ke kamar dan menangis sejadinya. Kalau sudah begitu, ayah saya luluh juga, kemudian minta maaf karena mungkin telah berlaku kasar atau marah yang kadang hanya karena persoalan sepele saja. Untuk mereka berdua, salam cinta, semoga dirumah baik-baik saja

Ada cerita dari dosen dan juga “guru mengaji “ saya. Suatu ketika istrinya bepergian untuk urusan tertentu dan sang suaminya belum berkesempatan menemani karena alasan kesibukan. Perjalanan cukup jauh dan melelahkan. Dalam kondisi seperti itu, istrinya ingin sekali mendapatkan hiburan dari suaminya. Yah, sebuah SMS menanyakan kabarnya cukuplah. Tapi itu tidak dilakukan oleh suaminya. Dan tentu saja, istrinya bete. “Suamiku tega sekali, nggak khawatir apa dengan diriku” begitu kira-kira.

Setelah urusan selesai, pulanglah sang istri ke rumah. Mengucapkan salam lantas masuk kerumahnya. Apa yang terjadi, ternyata suaminya biasa saja. Tak mengekspresikan rasa kangennya kepada istrinya. Dan bagi istrinya, ibarat sebuah pertandingan, itu merupakan pukulan telak, kecewa..kecewa. Awalnya suaminya cuek saja. Tapi pada akhirnya dia menyadari bahwa sikapnya kurang benar. Ya, setidaknya membukakan pintu dan tersenyum sambil basa-basi menanyakan apakah perjalanannya baik-baik saja itu cukup. Tapi sayang, hal itu tak dilakukannya. Dia baru sadar ketika melihat gelagat istrinya yang lagi benar-benar BT alias butuh tatih tayang….

Ada juga kisah imajinatif yang inspiratif….tentang ayam dan bebek.

Suatu ketika sepasang pengantin baru berjalan-jalan menikmati indahnya perkampungan yang masih belum tersentuh bising dan aroma kota. Ketika mereka bercanda, tiba-tiba terdengar suara dari kejauhan “Kuek.kuek..kuek”

“Dengar sayang, ada ayam” kata istrinya

“bukan..bukan, itu suara bebek” kata suaminya.

“nggak, itu suara ayam” istrinya bersikeras.

“istriku..itu suara bebek, suara ayam itu bunyinya kukururyuuuuk, kalau bebek itu ya kuek..kuek..kuek, nah itu bebek sayang, bukan ayam “kata suaminya mencoba menjelaskan.

“Nggak, aku yakin itu suara ayam” kata istrinya

“Sayang, itu bebek, kamu ini..kamuuuuuuuu” suaminya agak kesal

seketika itu basahlah pipi istrinya, dia menangis sambil tersendu tapi tetap berkata.

“Aku yakin itu ayam, bukan bebek” masih kata istrinya.

Kemudian sang suami sadar tak mau ribut lagi dan berkata.

“Ya kamu benar sayang, itu suara ayam” kata suaminya bersamaan dengan suara dari kejauhan ..kuek..kuek..kuek..

Kadang seorang suami memang perlu bersikap demikian. Untuk sesuatu yang kecil dan sepele tak perlu terlalu diributkan. Yang terpenting adalah membangun keharmonisan rumah tangga. Pertikaian dan hancurnya rumah tangga seringkali terjadi karena kita meributkan hal-hal sepele. Maka dari itu, untuk mencegahnya kita perlu sesekali memahami isi hati seorang wanita yang kita cintai itu

Dan pada akhirnya, untuk menghormati dia, seorang wanita yang kita cintai, kita perlu bersikap bijaksana. Itu semua perlu dilakukan, seperti syair dalam lagu pop… karena wanita ingin dimengerti. Itu saja. (yon’s revolta)




Read More..